Selasa, 14 Februari 2012

Jakarta Kami, Pantaskah?


Sudah bertahun-tahun kami tinggal di Jakarta, tapi kami tidak tau apa yang sebetulnya menjadi ciri khas kami. Kerak telor? Ondel-ondel? Es Selendang Mayang? Atau sebuah event tahunan semacam Pekan Raya Jakarta, Peerje? Ah, kerak telor dan ondel-ondel pun hanya dapat kami temukan di Peerje. Apalagi segelas es Selendang Mayang. Mendengar namanya saja pun tidak pernah. Sudah jarang hal-hal kecil mengenai Jakarta yang dapat kami temukan dalam kehidupan kami sehari-hari. Mungkin, apabila Anda bertanya kepada segelintir orang di luar sana tentang ciri khas Jakarta, mereka bisa jadi hanya tertawa simpul sambil menjawab, “Jakarta kalau nggak macet ya banjir!” Atau bahkan hanya sekadar melenggang sambil tersenyum dan berbisik, “Sibuk kerja! Ngga sempat pikir-pikir Jakarta!”
Jakarta sudah menjadi tempat persinggahan bagi berbagai macam suku bangsa, agama, dan berbagai macam orang dengan watak yang berbeda-beda. Semua datang ke Jakarta dengan status yang berbeda pula. Dengan alasan mencari peluang untuk melipatgandakan rejeki, tidak hanya satu atau hanya dalam hitungan jari manusia-manusia tersebut berbondong-bondong datang ke tempat ini. Orang-orang dengan logat keras Sumatera datang dengan membawa sanak saudara mereka sambil berpikir, “Ah, macam mana tinggal di Medan? Rejeki susah, ingin maju susah. Apa kata dunia?!” Berbeda logat dengan orang-orang Papua, mereka yang ikut singgah ke Jakarta  juga berpikir, “Beta datang ke Jakarta supaya sodekat dengan rejeki.” Pemikiran-pemikiran seperti itu sudah menjadi pemikiran masyarakat pada umumnya dengan penyebab dinamika sosial yang mereka rasakan sewaktu di kampung dulu. Bahkan pemikiran tersebut juga menular bagaikan penyakit yang ditularkan oleh kerabat-kerabat mereka terdahulu yang sudah terlebih dulu singgah di kota besar ini. Lantas, apakah memang benar menapaki kehidupan di Jakarta bisa mendekatkan kita kepada rejeki layaknya mendekatkan diri kepada sang gebetan? Terasa sulit dan sedikit galau, tapi apabila didapat akan terasa manis dan membahagiakan?
Sulitnya menata dan meniti bambu sambil berlari layak disandingkan dengan sulitnya hidup damai dan tentram di Jakarta bagi mereka yang merupakan masyarakat perantauan dari luar daerah provinsi DKI Jakarta atau bahkan mereka orang-orang komuter yang tinggal di Bogor, Depok, Tangerang, atau Bekasi. Loyalitas mereka terhadap DKI Jakarta sangat mungkin untuk diragukan. Sah-sah saja sih untuk mencari rejeki di Jakarta, walau terkadang perilaku mereka tidak dibarengi dengan pertanggungjawaban mereka terhadapnya. Kurangnya loyalitas mereka membuat ciri khas-ciri khas Jakarta seperti kerak telor dan ondel-ondel menjadi berkurang eksistensinya. Anda pasti bertanya, “Lho, apa hubungannya?” Yap. Apa hubungannya? Mungkin akan kami beri contoh sedikit. Apabila Anda pernah mendengar Jakmania, suatu istilah yang digunakan bagi suatu kelompok pendukung setia klub lokal Persija Jakarta atas diri mereka, apakah Anda pernah merasa bagian dari mereka? Atau merasa kenal dengan mereka? Merasa senasib dengan mereka?
Usut punya usut, kelompok ini sudah dibentuk sejak tahun 1997. Angka tua. Bahkan bang Foke belum memerintah Jakarta saat itu. Persija Jakarta yang berevolusi dari nama-nama sebelumnya pun sudah ada sejak dulu. Persija Jakarta, tolong garis bawahi kata ‘Jakarta’ dan itu cukup, bahkan sudah terlampau lebih, untuk menggambarkan bahwa tim itu adalah salah satu harta milik kita. Jakmania, yang sudah lahir sejak dulu, mendeklarasikan dirinya dan dideklarasikan oleh yang lain sebagai pemain ke-12 dari tim Persija yang ketika bermain di lapangan berjumlah sebelas orang. Banyak caci dan maki dilayangkan kepada mereka atas perilaku mereka yang kerap kali membuat masyarakat jengkel. Mereka yang mengaku dirinya kaum hedonis akan menganggap Jakmania tidak penting, karena memang mereka tidak memiliki kepentingan apa-apa dengan Jakmania. Mereka yang menganggap dirinya kalangan elite, akan ogah untuk berurusan dengan para Jakmania. Untuk berurusan saja ogah, apalagi kenal dengan mereka. Mereka yang merupakan orang-orang perantauan dan komuter, apakah ada sedikit rasa ingin tahu dan kepedulian mereka terhadap Jakmania atau lebih umumnya, Persija Jakarta? Sesungguhnya, kaum-kaum yang sombong itu, apakah mereka layak disebut sebagai warga loyal Jakarta? Atas kesombongan mereka terhadap harta kepemilikan Jakarta, apakah mereka layak menyebut kerak telor sebagai ciri khas dari kampung mereka? Lantas, apabila Jakmania merupakan pemain ke-12 di tubuh Persija Jakarta, apakah warga Jakarta lain berhak menyandang predikat pemain ke-13? Apakah warga Jakarta secara keseluruhan berhak menyebut diri mereka sebagai bagian dari Persija Jakarta?
Sungguh, sangat banyak pertanyaan akan dilayangkan untuk mereka yang mengaku dirinya loyal. Atau, Anda tanyakan saja pada kami. Apabila kami menyanggupi semuanya, selamat datang di Jakarta Raya. (Mayang Athira Degesniari)
twitter : @mayangathira
facebook : www.facebook.com/degesniari

Tidak ada komentar:

Posting Komentar